Rabu, 29 Mei 2013

Hak Dan Kewajiban Umat Islam


Seorang muslim yang mengikrarkan syahadat berarti telah yakin bahwa Nabi Muhammad SAW maka, tentu saja dia harus mengetahui kewajibannya terhadap Rasulullah SAW. Kewajiban-kewajiban itu antara lain: 
Beriman kepada Beliau
Iman kepada para Rasul merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim. Allah Swt berfirman:
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. 7:158)
Termasuk iman kepada Rasulullah SAW. adalah membenarkan dengan tanpa keraguan bahwa risalah dan kenabiannya adalah haq dari Allah SWT, dan mengamalkan segala tuntutannya. Membenarkan semua ajaran yang beliau bawa, dan yakin bahwa semua berita dari Allah yang beliau sampaikan adalah benar. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (QS. an-Nisaa:136)
 
Mencintai Rasul
Beliau bersabda,
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia." (HR. al-Bukhari).
Tatkala mendengar ini, Umar ra. berkata kepada Rasulullah SAW. "Sungguh engkau lebih aku cintai dibanding segala sesuatu kecuali diriku." Maka Nabi SAW. bersabda, "Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berkata, "Demi Allah sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri." Maka Nabi SAW. menjawab, " Sekarang hai Umar,(telah sempurna imanmu)."
Patuh
Taat kepada Rasulullah SAW. merupakan salah satu kewajiban seorang muslim, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu" (QS. 47:33).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya). (QS. 8:20)
Rasulullah SAW. juga telah bersabda, bahwa taat kepada beliau merupakan sebab seseorang masuk surga. Orang yang taat kepada Rasulullah SAW. pada hakikatnya taat kepada Allah.

Ittiba' (Mengikuti)
Allah SWT. memberitahukan bahwa ittiba' kepada Rasulullah SAW. merupakan bukti cinta seorang muslim kepada Allah SWT. Dia berfirman, yang artinya, "Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)
Meneladani Sikap
Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk meneladani para nabi dan rasul sebelum beliau. Dan kita diperintahkan untuk meneladani Rasulullah SAW., sebagimana firman Allah SWT.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. 33:21)
Memuliakan dan Menghormati
Wajib bagi setiap muslim untuk memuliakan dan menghormati Rasulullah SAW. sesuai kedudukannya, dengan catatan tidak mengangkatnya hingga sampai derajat ketuhanan. Mengagungkan beliau adalah mengagungkan segala sesuatu yang terkait dengan beliau, seperti nama beliau, hadits, sunnah, syari'at, keluarga dan juga para sahabat beliau.
Termasuk memuliakan Nabi SAW. adalah tidak lancang terhadap beliau dan tidak mengeraskan suara di hadapan beliau. Allah SWT. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagai mana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. al-Hujurat:1-2).
Di dalam ayat di atas Allah SWT. melarang kita mengeraskan suara di hadapan Nabi SAW. bahkan harus merendahkan suara dalam berbicara, dengan penuh adab, lembut, hormat dan pengagungan. Orang yang tidak perhatian terhadap hal ini dikhawatirkan amalnya akan gugur tanpa dia sadari. Ini dikarenakan Nabi SAW. adalah lain daripada yang lain, tidak seperti lazimnya manusia.
Para ulama mengatakan bahwa mengeraskan suara di sisi kubur Rasulullah SAW. adalah dibenci, sebagaimana hal itu dilarang ketika beliau masih hidup, sebab beliau itu terhormat ketika hidup dan mati.
Rindu Nasihat Rasul
Nasihat secara bahasa artinya menghendaki kebaikan, sehingga ketika seorang muslim menasehati saudaranya berarti dia ingin agar saudaranya itu menjadi baik.
Adapun nasehat Rasulullah SAW. ketika beliau masih hidup adalah dengan mengerahkan segala upaya untuk taat kepada beliau, menolong dan membantu beliau, membelanjakan harta jika beliau memerintahkan dan berlomba-lomba mencintai beliau. Dan setelah beliau meninggal dengan cara berusaha mempelajari sunnah, akhlaq dan adab beliau. Mengagungkan perintah-perintah beliau dan konsisten dalam menjalankannya. Membenci dan marah kepada orang-orang yang menyelisihi sunnah beliau, mencintai orang yang ada ikatan kekerabatan, perbesanan, pertalian hijrah, dan persahabatan dengan beliau, setia kepada beliau dan memusuhi orang yang memusuhi beliau.
Mencintai Ahli Bait dan Shahabat Beliau
Mencintai Ahli Bait dan Shahabat Nabi SAW. merupakan bagian dari cinta kepada Nabi SAW. dan merupakan cinta yang wajib. Maka barang siapa yang membenci ahli bait atau shahabat beliau yang telah diridhai Allah SWT. maka berarti telah membenci Nabi SAW. karena cinta kepada beliau berkaitan erat dengan cinta kepada mereka.
Nabi SAW. bersabda mengenai paman beliau al-Abbas radhiyallahu anhu yang merupakan salah seorang ahli bait beliau, "Barang siapa menyakiti pamanku, maka dia telah menyakitiku." Dan tentang Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau bersabda, "Janganlah kalian menyakitiku dalam hal Aisyah."
Tentang para shahabat, maka beliau bersabda,
"Janganlah kalian mencaci-maki shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan sampai kepada (derajat) mereka, bahkan meski hanya setengahnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bershalawat Kepadanya
Allah SWT. memerintahkan orang- orang mukmin untuk bershalawat kepada Nabi SAW. dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. 33:56)
Bershalawat kepada Nabi SAW. merupakan kewajiban setiap mukmin, yaitu dengan mengucapkan shalawat dan salam sekaligus, tidak shalawat (shallallahu 'alaihi) saja atau hanya salam saja ('alaihis salam), namun shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikianlah yang diperintahkan Allah SWT. kepada kita sesuai ayat di atas. Bershalawat kepada Nabi SAW. memiliki keutamaan yang besar dan amat banyak sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits shahih.[]

Kewajiban Umat Islam Menghadapi Dunia Baru


Kuburmu dicari, jejakmu ditelusuri, ajaranmu dikaji, Mujahid tak pernah mati~ S.M. Kartosoewirjo, seorang pejuang yang konsisten dalam mengarungi hidup di empat jaman,  zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan sampai zaman Orde Lama, beliau tetap istiqomah melawan penjajahan, anti penindasan dan membela Islam serta Umat Islam. Kepiawaiannya menapak jejak perjuangan Rosululloh  dan mampu meletakan langkah perjuangannya dalam konteks ke-Indonesia-an. Kesadaran sampai akhir hayatnya tidak lepas dari keyakinan  akan pegangan hidupnya yaitu Tauhid Kholisan Lillah . Berikut ini sebuah tulisan SM Kartosoewirjo yang dimuat di Majalah M.I.A.I yang terbit pada masa zaman Jepang 15 Mei 1943, diusia beliau waktu itu belum genap 40 tahun. Sebuah tulisan yang menjadi bahan perenungan hari ini, akan kewajiban umat Islam untuk tampil di garis depan perubahan, jangan sebagai umat seperti “bangkai yang hidup” atau “sampah dalam masyarakat”. Sebuah kehidupan yang akan dipertanggung jawabkan di akherat kelak.  (Sumber asli bisa di akses disini)

Sejak mula manusia dilahirkan oleh Allah di dunia, maka sejak itu pula tumbuhlah hubungan ikat-mengikat antara dia dengan ‘alam mumkin sekelilingnya. Maka ‘alam itu menjadi sebab dan jembatan, menjadi syarat perjalanan dan lapang hidup, melakukan pelbagai perjuangan menentukan nasibnya, di kelak kemudian hari.
‘Alam syahadah sekeliling manusia dan dirinya pribadi itu, sepanjang faham setengahnya kaum ‘Ulama dan Hukama, dinamakan “dunia”.
“Dunia” yang menjadi syarat hidup dan “dunia” yang menjadi bekal mati.
Syahdan, seorang anak (bayi) lahir di dunia menghadapi ibunya, yang menyusui dan memelihara dia, dengan kasih-sayangnya. Menghadapi ayah, yang mencintai dia dan bertanggung jawab atas didikan dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak itu. Ketemu dengan kakek-nenek, paman-bibi dan sanak kerabat lainnya. Wal hasil, sejak itulah ia dihidupkan Allah di tengan-tengah “dunia” kecil, dalam lingkungan keluarga kecil, di kalangan rumah tangga ibu ayahnya.
Jika di anak dipanjangkan umurnya, maka dengan berkat karunia Ilahy dan pemeliharaan ibu-ayah yang mencintainya itu, si bayi makin lama makin besar dan subur daan terpisah dari susu ibunya. Ia dimasukan sekolah, madrasah atau pesantren, menghadapi guru atau kiayi, yang memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya sehari-harinya. Dalam pada si anak bersekolah atau “mesantren” itu, dengan karena tabi’at ‘alam yang terkandung dalam dirinya, maka ia perlu kepada ‘alam yang lebih luas dan perlu pula kawan yang lebih banyak. Pada masa itu ia hidup dalam lingkungan “dunia” kanak-kanak, hidup dalam kalangan keluarga yang agak besar.
Selanjutnya, jika ia keluar dari bangku sekolah atau “pesantren”, lepas dari thalab ‘ilmudi berbagai-bagai taman pendidikan dan pelajaran, dan bilamana dengan Kehendak Allah ia mencapai umur dewasa, maka sampailah ia kepada tingkat “baligh” atau “mukallaf”.
Ialah tingkat manusia, yang menuntut pertanggung jawaban atas perjalanan dirinya pribadi dan ‘alam sekelilingnya. Tingkat manusia, yang mendorong dia terjun dalam lingkungan yang keluarga yang besar dan mulai belajar hidup dalam “dunia” pergaulan hidup bersamanya, bertolak dari pelabuhan tempat berteduh dan mengarungi lautan hidup yang amat luas dan dalam itu.
Karena bawaan (chilqah) dirinya, ia perlu hidup bersuami isteri, perlu menghubungkan tali ikatan rumah tangganya dengan rumah tangga lainnya, perlu hidup dalam pergaulan (sosial) dan dalam pencarian rizki (ekonomi). Maka pelajaran hidup yang mula pertama ini menghendaki ketabahan hati, kesabaran, keinsyafan, kebulatan niat dan keuletan bekerja, karena pertanggung jawab yang penuh-penuh atas keselamatan bersama.
Maka keluarga yang lebih besar, yang merupakan masyarakat itu, bertambah hari makin bertambah meluas. Dari rumah tangga sendiri menjadi dukuh dan kampung, dari kampung menjadi desa (Ku), dari desa menjadi Son, Gun, Ken dan Sjuu sampai akhirnya menjadi Djawa Baroe. Maka keluarga se-Djawa Baroe itu pun hanya merupakan salah satu bagian kecil dalam lingkungan keluarga se-Asia Timoer Raya.
Oleh sebab itu, dengan karena kedudukan dan tempat tinggal, dengan karena peredaran zaman dan pembaruan masyarakat, maka mau tidak mau tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan menjadi salah satu anggota dari Keluarga Besar, Keluarga Asia Tomoer Raya.
Bandingkan dengan ajaran Islam, yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19 !
Maka karena ikatan Keluarga Besar itu, tiap-tiap bagiannya (yang kecil ataupun yang besar) harus merasa wajib ikut bekerja, membantu dan menyokong dengan sepenuh-penuhnya keyakinan dan kesadaran, dalam usaha mengejar dan mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Kema’muran, yang sanggup menyelamatkan 1.000 juta jiwa manusia, dalam tiap-tiap lapisan dan keperluannya.
Apakah gerangan kewajiban kita? Agaknya orang menanya.
Maka jawabnya ialah : kewajiban yang terutama bagi Umat Islam, yang juga menjadi bagian Keluarga Besar itu : ” Menyokong dan membantu usaha dalam mengikhtiarkan tercapainya Kema’muran Bersama, disampingnya dan bersama-sama dengan bagian-bagian Kelurga yang lainnya”.
Tetapi……. sokongan dan bantuan itu tidak “cuma” merupakan cerita yang menggelora atau dongeng yang mendahsyatkan dan mengharukan, dan tidak pula cukup dengan “suara halilintar yang menyambar-nyambar”. Melainkan harus berwujudkan ‘amal yang nyata, ‘amal yang berharga, ‘amal yang hanya diperuntukan bagi keperluan diri pribadi atau golongan sendiri saja. Maka pada prakteknya agak sukarlah membedakan dan memisahkan kedua macam ‘amal itu. Lantaran tidak jarang kita dapat menyaksikan, orang mengejar “keperluan sendiri” dengan berselimutkan “keperluan umum”. Sekarang rupanya bukan lagi waktunya, untuk mempertontonkan “permainan tonil dunia” yang serupa itu, yang hanya mendidik sifat dan tabiat “munafik” semata-mata.
Kiranya baik juga, satu-dua tamsil diketengahkan, unutk membandingkan wujud dan sifatnya ‘amal yang boleh dan yang tidak boleh menjadi sokongan dan bantuan.
Tamsil 1. Si A dan Si B. berkawan, berjalan bersama-sama dan menuju satu maksud yang sama. Si A adalah seorang yang kuat, tangkas dan berani, sedang Si B adalah seorang yang lemah dan malas usaha lagi penakut. Apa akibatnya? Maksudnya mungkin sampai, usaha mungkin putus di tengah jalan, karena sifat B yang menghambat dan mencegah tercapainya maksud itu.
Tamsil 2. Si A ingin bekerja bersama-sama dengan Si B. Tapi si A adalah yang lumpuh, tiada berdaya dan kemauannya pun amat lembek sehingga seumur hidupnya ia cuma menjadi “sampah masyarakat”. Walaupun si B besar himmahnya dan bersungguh-sungguh dalam ‘amal perbuatannya, disertai pula dengan tulus dan setia hati yang penuh, tetapi adanya si A, disamping si B itu tidak pula menambah besar dan pesatnya perjalanan dan mungkin menjauhkan maksud yang dituju.
Maka adanya si A tersebut tidaklah sekali-kali menyokong dan membantu tercapainya maksud, melainkan sebaliknya.
Hatta, maka dengan gambaran ringkas di atas cukuplah kiranya bagi kita, bahwa niat dan usaha Umat Islam untuk memberi sokongan dan bantuan dalam ikhtiar mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya itu, harus dan wajiblah merupakan ‘amal yang berharga dan yang diharapkan oleh tiap-tiap bagian Keluarga Besar itu.
Oleh sebab itu, maka pada hemat kita pada zaman panca-roba ini Umat Islam tidak boleh sekali-kali lemah-hati, putus asa atau mengurangkan usaha. Malah sebaliknya, harus dan wajiblah Umat Islam berdiri tegak teguh di belakang garis peperangan yang dahsyat ini, dan membangunkan suatu “Benteng Islam” yang kuat lagi sentausa, dlohir dan bathinm keluar maupun ke dalam.
Sebab, bila Umat Islam masih juga merupakan “bangkai yang hidup” atau “sampah masyarakat”, atau sesuatu yang tidak tentu bentuk, sifat dan wujudnya, laksana “terapung tak hanyut, terendam tak basah” janganlah diharapkan yang Umat Islam akan memperoleh penghargaan siapa pun juga.
Sekaranglah waktunya Umat Islam menentukan nasibnya buat Hari Kemudian !
“Jika kayu ia timbul, jika batu ia tenggelam !!!”
Cukuplah tidur nyenyak lebih dari 300 tahun lamanya – lebih dari tidur Ashabul Kahfi– dibawah selimut Fir’aun-Belanda,  yang pandai menyanyikan lagu “nina bobo” itu !.
Tumpahkanlah tenaga, fikiran dan harta kita untuk membimbing dan membentuk “Benteng Islam” itu! Satu “Benteng” yang diperdirikan atas dasar ikhlas dan suci hati, dan tersimpan rapat dalam tiap-tiap hati Mu’min dan Muslim! Satu “Benteng” yang mengikat dan mengeratkan tali persaudaraan (musabahah dan ukhuwwah) antara tiap-tiap bagian dan lapisan seluruh penduduk Asia Timoer Raya! Satu “Benteng” yang dibentuk oleh tiap-tiap hamba Allah, yang ingin Muhabbah dan Taqarub kepada Azza wa Djalla semata-mata!.
Jika Umat Islam sudah sadar, insaf dan tahu sungguh-sungguh melakukan kewajibanya dalam Agama, Insya Allah nasib Umat Islam tidak akan memalukan dan memilukan hati, dan akan dapat menjadikan kekuatan dan ‘amal perbuatan  yang berharga dan membentuk “Dunia Baru”, “Dunia Bahagia” yang mengandung “Kema’muran Bersama”.
Tahukah kita, bahwa Dunia yang kita injak dan kita hadapi ini menjadi “Jembatan dan Jalan” menuju “Darul Akhirah” kelak?
Sadarkah kita, bahwa ‘amal yang diperbuat semasa hidup di Dunia akan menjadi “Mizan Nasib” nanti di Yaum al Hisab?
Insafkah kita, bahwa perbuatan kita yang baik (Ihsan) selagi hidup di Dunia menjadi pertanggungan yang istimewa, bagi mencapai Kemuliaan dan Bahagia, bila telah tiba masanya kita dimasukan dalam “Alam di balik Qubur” ?
Yakinkah kita, bahwa Iman yang teguh serta Tauhid yang sentausa dan Islam yang sempurna (‘amal salih) akan merupakan kunci yang membuka pintu Dar-oel Islam danDar-oes-Salam, tempat keselamatan dunia dan akhirat?
Percayakah kita, dengan tiada was-was dan sjak sedikitpun juga, bahwa Allah swt, akan mencukupi segenap janji-Nya (Wa’ad dan wa’id), jika kita suka berpegangan teguh dan kuat akan “janji-janji kita kepada Allah” sejak di ‘alam arwah hingga kini?
Kemudian daripada itu, jika kita telah tahu dan mengerti, sadar dan insyaf, yakin dan percaya, bahwa nasib Umat Islam terletak di tanganya Umat Islam sendiri, Insya Allah hati kita akan dilapangkan, dan ‘amal kita akan diluaskan oleh Allah, bagi mensesuaikan diri dengan tuntutan masa dan kehendak zaman, sehingga tumbuhlah Ummat Baru, Ummat Wasath, Ummat yang terpilih, Umat yang sanggup bekerja bagi keselamatan dunia, terutama lingkungan Keluarga Asia Timoer Raya.

Selasa, 28 Mei 2013

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


tuntunan dzulhijjah

Segala puji bagi Allah سبحانه وتعلى, salam dan salawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم serta shahabat-shahabat beliau.

Dalil tentang keutamaan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah :
1. Firman Allah سبحانه وتعلى
 وَالْفَجْر  وَلَيَالٍ عَشْر  الفجر
“Demi fajar dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr :1-2)

Sebahagian besar ahli tafsir menafsirkan bahwa makna “Malam yang sepuluh”  adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan sumpah Allah سبحانه وتعلى atas waktu tersebut menunjukkan keagungan dan keutamaannnya (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4:535 dan Zaadul Maad 1:56)

2. Diriwayatkan dari shahabat Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

“Tidak ada hari-hari yang di dalamnya amalan yang paling dicintai oleh Allah kecuali hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah” Para shahabat bertanya “Wahai Rasulullah, apakah amal-amal shalih pada hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah dari pada jihad fii sabilillah ?” Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda : ”Ya, kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali dari jihad tersebut dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari)
3. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad  -rahimahullah- dari Ibnu Umar dari Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda :

Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah padanya, melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka perbanyaklah pada hari itu tahlil  لا إله إلا الله, Takbir الله أكبر dan Tahmid  الحمد لله

4. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Qurath Radhiyallahu Anhu beliau berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda : ”Hari yang paling afdhal / utama (dalam setahun) adalah hari raya qurban (10 Dzuulhijjah)”  (HSR. Ibnu Hibban)

5. Jika seseorang bertanya :”Yang manakah yang lebih afdhal sepuluh terakhir di bulan Ramadhan ataukah sepuluh awal bulan Dzulhijjah ?” Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata “Jika dilihat pada waktu malamnya,   maka   sepuluh   terakhir bulan Ramadhan lebih utama dan jika dilihat waktu siangnya, maka sepuluh awal bulan Dzulhijjah lebih utama” (Lihat Zaadul Ma’ad 1:57)

Amalan Yang Disyariatkan Pada Hari-hari Tersebut
1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah. Kedua ibadah inilah yang paling utama dilaksanakan pada hari-hari tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda : ”Umrah yang satu ke umrah yang lainnya merupakan kaffarat (penghapus dosa-dosa) diantara keduanya, sedang haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali Syurga” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Berpuasa pada hari-hari tersebut atau beberapa hari diantaranya (sesuai kesanggupan) terutama pada hari Arafah (9 Dzulhijjah). Tidak diragukan lagi bahwa ibadah puasa merupakan salah satu amalan yang paling afdhal dan salah satu amalan yang dilebihkan oleh Allah سبحانه وتعلى dari amalan-amalan shalih lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasululllahصلى الله عليه وسلم bersabda :

“Tidaklah seseorang berpuasa satu hari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari Neraka (karena puasanya) sejauh 70 tahun perjalanan” (HR. Bukhari dan Muslim) Khusus tentang puasa Arafah, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah  صلى الله عليه وسلم bersabda” Berpuasa di hari Arafah ( 9 Dzulhijjah ) menghapuskan dosa tahun lalu dan dosa tahun yang akan datang”

3.Memperbanyak takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى :
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“…Supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan..” (QS. Al Hajj: 28)

Tafsiran dari “Hari-hari yang telah ditentukan” adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah . Oleh kerena itu para ulama kita menyunnahkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut. Dan penafsiran itu dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara marfu’ :

“…maka perbanyaklah tahlil, takbir dan tahmid pada hari-hari tersebut” (HSR. Ath Thabrany)

Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radiyallahu Anhu ketika keduanya keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah mereka berdua berakbir, maka orang-orang pun ikut berakbir sebagaimana takbir mereka berdua (R. Bukhari) Dan Ishaq bin Rahowaih –rahimahullah- meriwayatkan dari para ahli fiqh dari kalangan tabi’in bahwa mereka –rahimahumullah- mengucapkan pada hari-hari tersebut :
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ َاللهُ أَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ

Disunnahkan mengangkat suara saat bertakbir, baik ketika di pasar, rumah, jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya, Allah سبحانه وتعلى berfirman :
 …وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ... 

“…Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah (dengan berakbir kepadaNya) atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu…” (QS. Al Baqarah :185).
Namun perlu diperhatikan bahwa takbir tidak boleh dilakukan secara berjama’ah yaitu  berkumpul-kumpul lalu bertakbir secara serempak, karena hal tersebut tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, namun hendaknya setiap orang bertakbir, bertahmid dan bertasbih dengan apa saja yang mudah  baginya secara sendiri-sediri. Dan cara seperti ini berlaku pula pada seluruh jenis dzikir dan do’a.

4. Bertaubat dan menjauhi kemaksiatan serta seluruh dosa agar mendapatkan maghfirah dan rahmat dari Allah سبحانه وتعلى. Hal ini penting dilakukan karena kemaksiatan merupakan penyebab ditolaknya dan jauhnya seseorang dari rahmat Allah سبحانه وتعلى, sebaliknya ketaatan merupakan sebab kedekatan dan kecintaan Allah سبحانه وتعلى kepada seseorang. Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda : ”Sungguh Allah itu cemburu dan kecemburuan Allah apabila seseorang melakukan apa yang Allah haramkan atasnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Memperbanyak amalan-amalan shalih berupa ibadah-ibadah sunnat seperti shalat, jihad, membaca Al Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan yang semacamnya. Karena amalan tersebut akan dilipatgandakan pahalanya jika dilakukan pada hari-hari tersebut, hingga ibadah yang kecil pun jika dilakukan pada hari-hari tersebut akan  lebih  utama  dan  lebih dicintai oleh Allah سبحانه وتعلى dari pada ibadah yang besar yang dilakukan pada waktu yang lain. Contohnya, jihad, yang merupakan seutama-utama amal, namun akan dikalahkan oleh amal-amal shalih yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulah Dzulhijjah, kecuali orang yang mendapat syahid.

6. Disyariatkan pada hari-hari tersebut bertakbir di setiap waktu, baik itu siang maupun malam, terutama ketika selesai shalat berjama’ah di masjid. Takbir ini dimulai sejak Shubuh hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji, sedang bagi jama’ah haji maka dimulai sejak Zhuhur hari penyembelihan (10 Dzulhijjah) Adapun akhir dari waktu bertakbir adalah pada hari terakhir dari hari-hari Tasyrik (13 Dzulhijjah)

7. Memotong hewan qurban (Udhiyah) bagi yang mampu pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Hal ini merupakan sunnah bapak kita Ibrahim Alaihissalam  ketika Allah سبحانه وتعلى mengganti anak beliau dengan seekor sembelihan yang besar. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabi  صلى الله عليه وسلمberqurban dengan dua komba jantan yang keduanya berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk, Beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca basmalah dan bertakbir
    
Bagi orang yang berniat untuk berqurban hendaknya tidak memotong rambut dan kukunya sampai  dia  berqurban,  diriwayatkan dari Umu Salamah, Rasulullah  bersabda:

“Jika kalian telah melihat awal bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian berniat untuk menuyembelih hewan qurban maka hendaknya dia menahan rambut dan kukunya” Diriwayat lain disebutkan:”Maka janganlah dia (memotong) rambut dan kuku-kukunya sehingga dia berqurban”.

Kemungkinan larangan tersebut untuk menyerupai orang yang menggiring (membawa) qurban sembelihan saat melakukan ibadah haji, sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى :
...وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ...  
“…Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebaelum qurban sampai di termpat penyembelihannya…” (QS. Al Baqarah :196). 
Namun demikian tidak mengapa bagi orang yang akan berqurban untuk mencuci atau menggosok rambutnya meskipun terjatuh sehelai atau beberapa helai dari rambutnya.

8. Melaksanakan shalat ‘Ied berjama’ah sekaligus mendengarkan khutbah dan mengabil manfaat darinya, yaitu sebagai hari kesyukuran dan untuk mengamalkan kebaikan. Karenanya janganlah seseorang menjadikan hari ‘Ied untuk berbuat kejahatan dan kesombongan. Serta jangan pula menjadikannya sebagai kesempatan untuk bermaksiat kepada Allah سبحانه وتعلى dengan mendengarkan nyanyian-nyanyian, alat-alat yang melalaikan(seperti alat-alat musik) minuman keras dan yang semacamnya. Karena perbuatan-perbuatan seperti itu  bisa menjadi penyebab terhapusnya amal-amal shalih yang telah dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan tersebut .
   
Dari seluruh yang telah dipaparkan dan dijelaskan di atas maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim dan muslimat untuk memanfaatkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini dengan penuh ketaatan kepada Allah سبحانه وتعلى memperbanyak dzikir dan syukur kepadaNya, melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi seluruh larangan serta memanfaatkan musim-musim ini untuk menyambut segala pemberian Allah سبحانه وتعلى yang dengannya kita meraih keridhaan-Nya.
    
Semoga Allah سبحانه وتعلى senantiasa menujuki kita kepada jalan yang lurus dan memberikan taufiq agar kita termasuk orang-orang yang memanfaatkan kesempatan emas seperi ini dengan baik, Amin yaa Rabbal ‘Alamin
-Muh. Yusran Anshar, Lc-

Maraji’ : Risalah Fadhlu Ayyam Al’Asyr Min Dzilhijjah, Asy Syekh Abdulllah  bin Abdirrahman Al Jibrin

Panduan Iedul Qurban

‘Iedul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah shubhaana wa ta'ala bagi ummat Muhammad shallallahu 'alahi wa sallam . Hal ini diterangkan dalam hadits Anas radhiyallahu 'anhu, beliau  berkata: Nabi shallallahu 'alahi wa sallam  datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya (tahun baru dan hari pemuda /aunul mabud), maka (beliau) bersabda:

“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersuka ria padanya di masa jahiliyyah, kemudian Allah menggantikan untuk kalian du a hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari ‘Iedul Qurban dan hari ‘Iedul Fitri.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan Al-Baghawi, shahih, lihat Ahkamul Iedain hal. 8).
Selain itu, pada Hari Raya Qurban terdapat ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah Shubhaanahu wa ta'ala  , yaitu shalat ‘Ied dan menyembelih hewan kurban.                                                            

Ta’rif (pengertian) Udhiyah
Udhiyah atau Dhahiyyah adalah nama atau istilah yang diberikan kepada hewan sembelihan (unta, sapi atau kambing) pada hari ‘Iedul Adha dan pada hari-hari Tasyrik  (11, 12, 13 Dzulhijjah) dalam rangka ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Shubhaanahu wa ta'ala .          

Dalil-dalil Disyariatkannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’a. Dalil Al Qur’an
Firman Allah Shubhaanahu wa ta'ala   :

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah” (QS. Al Kautsar : 2)
Berkata sebahagian ahli tafsir yang dimaksud dengan berqurban dalam ayat ini adalah menyembelih udhiyah (hewan kurban) yang dilakukan sesudah shalat ‘Ied (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4:505 dan Al Mughni 13:360)                       

b. Dalil As Sunnah
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata:

“Nabi shallallahu 'alahi wa sallam  berkurban dengan dua ekor domba jantan yang keduanya berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk. Beliau shallallahu 'alahi wa sallam  menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca basmalah dan bertakbir” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Dalil Ijma’
Seluruh kaum muslimin telah bersepakat tentang disyariatkannya (Lihat Al Mughni 13:360)

Fadhilah (Keutamaan)
Telah diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, Bahwa Nabi shallallahu 'alahi wa sallam  bersabda bahwa menyembelih ( udhiyah)  adalah amalan yang paling dicintai oleh Allah  shubhaana wa ta'ala  dari anak Adam (manusia) pada hari itu dan sangat cepat diterima oleh-Nya sampai diibaratkan, sebelum darah hewan sembelihan menyentuh tanah, namun riwayat ini lemah karena pada sanadnya ada Abu Al Mutsanna Sulaiman bin Yazid dan dia telah dilemahkan olah ulama-ulama hadits) (Lihat Takhrij Misyatul Al Mashobin 1:462)

Walaupun demikian ulama telah bersepakat bahwa berkurban adalah ibadah yang paling utama (afdhal) dikerjakan pada hari itu dan dia lebih utama dari pada sekedar berinfaq.

 Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Nabi shallallahu 'alahi wa sallam  telah melakukan udhiyah,demikian pula para khalifah sesudah beliau. Seandainya bersede-kah biasa lebih afdhal tentu mereka telah melakukannya”. Dan beliau berkata lagi : “Mangutamakan sedekah atas udhiyah akan mengakibatkan ditinggalkannya sunnah Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam  ”. ( Al Mughni 13:362)

Hukummya
Hukum Udhiyah adalah Sunnah Muakkadah (sangat ditekankan) bahkan sebagian ulama mewajibkan bagi yang mampu, namun pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan sunnah muakkadah dan dimakruhkan meninggalkannya bagi orang yang sanggup mengerjakannya – Wallahu A’lam-

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
“Tidak ada khabar yang shahih yang menunjukkan bahwa salah seorang dari shahabat memandang hukumnya wajib”

Hukum sunnah ini bisa menjadi wajib oleh satu dari dua sebab berikut:   
-Jika seseorang bernadzar untuk berkurban.             
-Jika ia telah mengatakan ketika membeli (memiliki) hewan tersebut: “Ini adalah hewan udhiyah (kurban)” atau dengan perkataan yang semakna dengannya.

Hikmah Qurban-Taqarrub (pendekatan) kepada Allah shubhaana wa ta'ala               
-Menghidupkan sunnah Ibrahim  dan semangat pengorbanannya  
-Berbagi suka kepada keluarga, kerabat, sahaya dan fakir miskin             
-Tanda kesyukuran kepada Allah shubhaana wa ta'ala atas karunia-Nya

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam  bersabda :

“Hari-hari ini adalah hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah shubhaana wa ta'ala  ”    (HR. Muslim)                          
Syarat Hewan yang dijadikan Udhiyah
Udhiyah tidak sah kecuali pada unta, sapi dan kambing :
1. Unta minimal 5 tahun                                 
2. Sapi minimal 2 tahun                               
3. Domba minimal 6 bulan                                     
4. Kambing biasa minimal 1 tahun                          

Dan tidak mengapa menyembelih hewan yang telah dikebiri, sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Abu Rafi radhiyallahu 'anhu  bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam  menyembelih dua ekor domba yang berwarna putih bercampur hitam yang sudah dikebiri (HR. Ahmad).Apalagi hewan yang telah dikebiri lebih baik dan lebih lezat.                    

Hewan Yang Tidak Sah Dijadikan Udhiyah
Merupakan syarat dari udhiyah adalah bebas dari aib/ cacat. Karenanya tidak boleh menyembelih hewan yang memiliki cacat, diantaranya :      
1.Yang sakit dan tampak sakitnya                  
2.Yang buta sebelah dan tampak pecaknya     
3.Yang pincang dan tampak kepincangannya  
4.Yang sangat kurus sehingga tidak bersumsum lagi
5.Yang hilang sebahagian besar tanduk atau telinganya      
6.Dan yang termasuk tidak pantas untuk dijadikan udhiyah adalah yang pecah  atau tanggal gigi depannya, yang pecah selaput tanduknya, yang buta, yang mengitari padang rumput namun tidak merumput dan yang banyak kudisnya.

Waktu Penyembelihan
Penyembelihan dimulai seusai shalat ‘Iedul Adha hingga akhir  dari  hari-hari tasyrik yaitu sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Dan sebagian ulama memandang waktu terakhir berkurban adalah terbenamnya matahari pada tanggal 12 Dzulhijjah -Wallahu A’lam-

Dari Al Baro’ bin Azib radhiyallahu 'anhu , Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda yang artinya :

“Sesungguhnya yang pertama kali dilakukan pada hari (‘Iedul Adha) ini adalah shalat, kemudian kita pulang lalu menyembelih (udhiyah). Barangsiapa yang melakukan seperti ini maka telah sesuai dengan sunnah kami dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka sembelihan itu hanyalah daging untuk keluarganya dan tidak termasuk nusuk (ibadah)” (HR. Bukhari dan Muslim) 
Do’a yang dibaca Saat Menyembelih“ Bismillahi Allahu Akbar” (Dengan nama Allah, Allah Yang Maha Besar)Dan boleh ditambah :
“Allahumma Hadza Minka Walaka Allahumma Hadza An.......”
Ya Allah, sembelihan ini dari-Mu dan bagi-Mu. Ya Allah sembelihan ini atas nama ……(menyebutkan nama yang berkurban)” (HSR. Abu Daud)       

Urutan Udhiyah yang afdhal
1. Seekor unta dari satu orang
2. Seekor sapi dari satu orang              
3. Seekor domba dari satu orang
4. Seekor kambing biasa dari satu orang
5. Gabungan 7 orang untuk seekor unta
6. Gabungan 7 orang untuk seekor sapi                                      

Beberapa Hal Yang Berkenaan Dengan Udhiyah- Jika seseorang menyembelih udhiyah maka amalan itu telah mencakup pula seluruh anggota keluarganya (R. Tirmidzi dan Malik dengan sanad yang hasan)

- Boleh bergabung tujuh orang pada satu udhiyah yang berupa unta atau sapi (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

- Disunnahkan untuk membagi udhiyah menjadi tiga bagian : Sepertiga buat yang berkurban, sepertiga dihadiahkan dan sepertiga disedekahkan.

- Dibolehkan memindahkan hewan kurban ketempat atau negeri lain

- Tidak boleh menjual kulit dan daging sembelihan

- Tidak boleh memberikan kepada penjagal (tukang sembelih) upah dengan daging tersebut dan hendaknya upah dari selainnya (R. Muslim dari Ali radhiyallahu 'anhu )

- Disunnahkan juga bagi yang mampu untuk menyembelih sendiri hewan kurbannya .                           

- Barang siapa yang bermaksud untuk berkurban maka dilarang baginya memotong kuku dan rambutnya atau bulu yang melekat dibadannya sejak masuk tanggal 1 Dzulhijjah  (HR. Muslim). Namun jika ia memotongnya, maka tidak ada kaffarah (tebusan) baginya namun hendaknya ia beristigfar kepada Allah shubhaana wa ta'ala, dan hal ini tidak menghalanginya untuk berkurban.

-Hendaknya menyembelih dengan pisau, parang (atau sejenisnya) yang tajam agar tidak menyiksa hewan sembelihan                                              

- Seorang wanita boleh menyembelih hewan kurban
 
Barang siapa yang tidak sanggup untuk berkurban maka ia mendapat pahala –Insya Allah- karena Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam telah berkurban atas namanya dan atas nama kaum muslimin yang tidak mampu untuk berkurban.